Jumat, 07 Agustus 2020

Segera Disahkan DPR, Urgensi RUU PKS

Segera Disahkan DPR, Urgensi RUU PKS

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dinilai sangat diperlukan saat ini.

Banyak elemen masyarakat yang mendesak agar RUU itu disahkan DPR.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar mengungkapkan beberapa alasan RUU PKS perlu segera disahkan.

Segera Disahkan DPR, Urgensi RUU PKS


Pertama, karena Indonesia membutuhkan aparat penegak hukum yang tanggap terhadap korban kekerasan seksual.

“(Agar) Jaksa Penuntut Umum dan Hakim memahami apa yang harus dialami korban,” kata Livia dalam webinar bertajuk 'The Urgency for the Comprehensive Elimination of Sexual Violence', Kamis (6/8/2020). Sbobet

Kedua, terkait bukti kekerasan seksual yang menjadi salah satu poin dalam RUU PKS.

Livia menilai surat dari psikolog dan dokter psikiatri harus cukup sebagai bukti.

Bukti dalam bentuk keterangan saksi korban juga menilai Livia sudah cukup untuk membuktikan kesalahan pelakunya. "Dan ini kami juga di LPSK kami juga menemukan banyak kasus yang tiba-tiba SP3 atau yang tidak dilanjutkan karena masalah (bukti)," katanya.

Maka yang terakhir adalah, ketentuan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual sehingga hal yang sama tidak terjadi lagi.

Dia mengatakan rehabilitasi dalam RUU PKS bukan pilihan selain hukuman penjara, tetapi kewajiban yang harus dijalani selama menjalani masa pidana.

“Jadi bukan sebagai alternatif penghukuman, tapi dalam pemidanaan diperlukan rehabilitasi agar tidak terulang,” imbuhnya.

Livia juga mengatakan, korban kekerasan seksual seringkali mengalami dampak sosial.

Menurutnya, ada korban kekerasan seksual dan keluarganya yang diisolasi oleh lingkungan karena dianggap aib.

“Yang menyedihkan, para korban dan keluarganya seringkali diisolasi oleh lingkungannya sendiri,” katanya.

“Lingkungan terdekat adalah masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Karena dianggap aib,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Livia, lingkungan pendidikan dan / atau lingkungan kerja para korban juga seringkali kurang memberikan dukungan.

Padahal, korban dan keluarganya menanggung biaya yang tak jarang mempengaruhi kondisi ekonomi.

Kekerasan dalam rumah tangga dan hubungan seksual

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Satuan Reserse Kriminal (PPA) Polri, Kompol Ema Rahmawati, mengatakan dari tahun 2017 hingga 2020 kasus kekerasan seksual didominasi oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan hubungan seksual.

Mulai dari kasus KDRT yang menonjol dan persetubuhan. Ini sangat menonjol, kata Ema

Ema mengatakan pada 2017, pihaknya menangani 5.065 kasus KDRT, 2.511 kasus persetubuhan, dan 2.981 kasus pelecehan seksual. link sbobet

Kemudian, pada 2018, ada 4.637 kasus hubungan seksual, 3.695 kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan 966 pelecehan seksual.

Sementara itu, pada 2019, ada 5.591 kasus hubungan seksual, 3.796 kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan 981 kasus pelecehan seksual.

Pada tahun 2020, Bareskrim menangani 2.834 kasus hubungan seksual pra-seksual, 1.804 kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan 1.518 kasus pelecehan seksual.

“Itu data kasus yang kami tangani, khususnya Dirt PPA tahun 2017 hingga 2020 bulan Juni,” ucapnya.

Ema Rahmawati melanjutkan, tantangan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak adalah proses pembuktian.

Menurut dia, salah satu penyebab sulitnya pembuktian kasus kekerasan seksual adalah karena korban terlambat melaporkan.

“Ada beberapa persoalan dalam pembuktian kasus kekerasan seksual ini yang menjadi kendala bagi kami,” lanjutnya.

Ia mengatakan, terkadang korban terlambat melapor karena pelakunya berasal dari lingkungan keluarga.

Sehingga, bukti-bukti kekerasan seksual yang menempel di tubuh menjadi hilang.

Selain itu, keterlambatan pelaporan juga bisa disebabkan korban diancam oleh pelaku kekerasan seksual.

Namun, saat korban memutuskan untuk melapor ke polisi, barang bukti yang menempel di tubuh korban sudah hilang.

Sehingga akan menghambat proses penanganan kasus tersebut, ujarnya.

Tantangan lain dalam penanganan kasus kekerasan seksual lain yang harus diperhatikan adalah perbedaan pandangan aparat penegak hukum dalam menafsirkan hukum.

Kemudian, keterbatasan layanan / teknis kesehatan, terutama dalam mendukung pembuktian kasus dan pembiayaan, tidak jelas.

Keterbatasan dokter, psikolog, pekerja sosial, asisten hukum. Kemudian sarana dan prasarana keamanan bagi korban belum terpenuhi, serta sumber daya manusia yang belum tanggap gender.

Diusir dari Prolegnas

Meski didesak banyak pihak untuk disahkan, RUU PKS tidak lagi masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas (Polegnas) 2020.

Usulan penarikan ini sebelumnya diajukan oleh Komisi VIII.

Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan saat ini RUU PKS sulit dibahas.

“Kami mencabut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit,” kata Marwan dalam rapat dengan DPR Baleg, Selasa (30/6/2020).

Dihubungi seusai rapat, dia menjelaskan, kesulitan yang dimaksud karena lobi fraksi dengan semua fraksi di Komisi VIII menemui jalan buntu.

Marwan mengatakan, sejak periode terakhir pembahasan RUU PKS masih berbenturan dengan judul dan definisi kekerasan seksual. Selain itu, aturan tentang hukuman masih diperdebatkan.

0 komentar:

Posting Komentar